A. KONSEP DASAR PENYAKIT
2.1. Anatomi
Apendiks
merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch ( analog dengan Bursa
Fabricus ) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya
kira-kira 10cm ( kisaran 3-15cm ) dengan diameter 0,5-1cm dan berpangkal di
sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian distal.Basis
appendiks terletak di bagian postero medial caecum, di bawah katup
ileocaecal.Ketiga taenia caecum bertemu pada basis apendiks.( Wim de Jong, 2004
)
Apendiks
verviformis disangga oleh mesoapendiks ( mesenteriolum ) yang bergabung dengan
mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi
a.Apendikularis (cabang a.ileocolica).orificiumnya terletak 2,5cm dari katup
ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh
appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil.( Wim de Jong, 2004 )
Struktur
apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa,
muskularis eksterna/propria ( otot longitudinal dan sirkuker ) dan serosa.
Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan
lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal,
menutup caecum dan apendiks.Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor
dan jaringan elastik membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe.
Antara
mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes.Mukosa terdiri dari satu lapis
columnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn.
Dinding luar ( outer longitudinal muscle ) dilapisi oleh pertemuan ketiga
taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks taenia anterior digunakan
sebagai pegangan untuk mencari apendiks. ( Wim de Jong, 2004 )
Apendiks pertama
kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari
protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang
berlebih akan menjadi apendiks, yang berpindah dari medial menuju katup
ileosekal. ( Wim de Jong, 2004 )
Pada bayi,
apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya kasus insiden apendisitis
pada usia tersebut. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal.Kedudukan
itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak
retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau
ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks.( Wim de Jong, 2004 )
![](file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.png)
2.2. Fisiologi
Apendiks
menghasilkan lendir 1-2ml per hari.Lendir di muara apendiks tampaknya berperan
pada patogenesis apendisitis.( Wim de Jong, 2004 )
Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT ( Gut associated Lymphoid tissue ) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin
ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah
jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan seluruh tubuh.( Wim de Jong, 2004 ).
Jaringan
lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah
lahir.Jumlahnya meningkat selama masa pubertas, dan menetap saat dewasa dan
kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan
lymphoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks komplit. (
Wim de Jong, 2004 )
2.3. Definisi
Apendisitis
Definisi Menurut Para Ahli :
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut.Pada
kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab palingumum untuk bedah abdomen
darurat (Smeltzer, 2001).
Terjadinya apendisitis
akut umumnya disebabkan oleh infeksibakteri.Namun terdapat banyak sekali faktor
pencetus terjadinyapenyakit ini.Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen
apendiks.Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanyadisebabkan karena adanya
timbunan tinja yang keras (fekalit),hipeplasia jaringan limfoid, penyakit
cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan struktur.Namun yang
palingsering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan
hiperplasia jaringan limfoid.(Irga, 2007).
2.4.
Patofisiologis Apendisitis
Apendisistis disebabkan oleh penyumbatan
lumen apendiks.Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
apendiks mengalami bendungan.Semakin lama mucus tersebut semakin banyak, namum
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan, sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intra lumen.
Tekanan tersebut akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema
dan uleserasi mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis akut focal yang
ditandai dengan nyeri epigastrium.
Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan
akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah dan bakteri akan menembus dinding peradangan yuang timbul meluas dan
mengenai perineum yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang
disebut apendisitis supuratif akut.
Apabila aliran ateri terganggu maka akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti gangren. Stadium ini disebut
apendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks rapuh maka akan terjadi
prefesional disebut apendisitis perforasi.
Bila proses berjalan lambat, omentum dan
usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga muncul infiltrate
apendikkularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.Omentum pada anak – anak lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding lebih tipis.Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang
masih kurang memudahkan untuk terjadi perforasi.Sedangkan pada orang dewasa
mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah.
2.5. Etiologi Apendisitis
Apendisitis
umumnya terjadi karena infeksi bakteri.Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya.Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen
apendiks.Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang
keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, struktur, benda
asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya
sumbatan.Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di
atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi
yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis
adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica.
Penelitian
epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis.Tinja yang
keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan
menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua
ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.
2.6.
Klasifikasi Apendisitis
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
1. Apendisitis akut, dibagi atas :
a.
Apendisitis akut fokalis atau segmentalis,
yaitu setelah sembuh akan
timbul
struktur lokal.
b.
Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah
bertumpuk nanah.
Gejala apendisitis
akut adalah demam, mual-muntah,
penurunan nafsu makan, nyeri sekitar pusar yang kemudian terlokalisasi di perut
kanan bawah, nyeri bertambah untuk berjalan, namun tidak semua orang akan
menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau
mual-muntah saja.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas :
a.
Apendisitis kronis fokalis atau parsial,
setelah sembuh akan timbul
struktur
lokal.
b.
Apendisitis kronis obliteritiva yaitu
appendiks miring, biasanya
ditemukan
pada usia tua. Anatomi dan Fisiologi Appendiks merupakan
organ
yang kecil dan vestigial (organ yang tidak berfungsi) yang melekat
sepertiga
jari.
Gejala apendisitis kronis sedikit mirip dengan sakit asam lambung
dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam
yang hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah,
kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang
khas pada apendisitis akut.
Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada
arah posisi/letak apendiks itu sendiri terhadap usus besar, Apabila ujung
apendiks menyentuh saluran kemih, nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik
saluran kemih, dan mungkin ada gangguan berkemih. Bila posisi apendiks ke
belakang, rasa nyeri muncul pada pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina.
Pada posisi usus buntu yang lain, rasa nyeri mungkin tidak spesifik.
2.6.
Gejala-Gejala Apendisitis
Gejala Klinis:
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri
dari :
Gejala
awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar
(nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan
pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan
beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa
lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat.Namun
terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.Tindakan ini
dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis
juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
Selain
gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari
apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang.Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak apendiks retrosekal
retroperitoneal
Yaitu
di belakang sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah
perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,
bernapas dalam, batuk, dan mengedan.Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi
m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2.
Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila
apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan
rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan
rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
Bila
apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala
apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya,
sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi.Berikut beberapa
keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1.
Pada anak-anak
Gejala
awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan.Seringkali anak tidak bisa
menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah-
muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini,
sering apendisitis diketahui setelah perforasi.Begitupun pada bayi, 80-90 %
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
2.
Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga
lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3.
Pada wanita
Gejala
apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan
apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang
panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia
kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah,
dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini.
Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral,
sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio
lumbal kanan.
2.7.1. Pemeriksaan
Apendisitis
1) Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : pada apendisitis akut
sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa
ditemukan distensi perut.
b. Palpasi : pada daerah perut kanan
bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri.
Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari
apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada
perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan
apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada
perut kanan bawah. Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
c. Pemeriksaan colok dubur :
Pemeriksaan
ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila
letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri,
maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan
ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
:
Pemeriksaan
ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan
atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang
kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika.
2)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
a. Pemeriksaan darah
leukositosis pada kebanyakan kasus apendisitis akut terutama
pada kasus dengan komplikasi pada
apendikuler infiltrate, LED akan meningkat.
b. Pemeriksaan urin, untuk melihat adanya eritrosit,
leukosit, dan bakteri di dalam
urin. Pemeriksaan ini sangat
membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala
klinis yang hamper sama dengan apendisitis.
Radiologis :
a. Foto Polos abdomen : Pada
apendisitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi, misalnya
peritonitis tanpak :
1. Skoliosis tekanan.
2.PSOAX SHADOW tak tampak.
3. Bayangan gas usus kanan bawah tak tampak.
4. Garis retroperitoneal fat sisi kanan tak tampak.
5. 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio.
b.USG
: bila hasil pemeriksaan fisik
meragukan, dapat di lakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila di
curigai adanya abses. Dengan USG dapat di pakai untuk menyingkirkan diagnosis
banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
c. Barium enema : suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan
barium ke
colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan
komplikasi-komplikasi
dari apendisitis.Pada jaringan-
jaringan
sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis
banding.Foto barium enema yang di lakukan
perlahan
pada apendisitis akut memperlihatkan tidak
adanya
pengisian appendiks dan efek masa pada tepi
medial
serta inferior dari saekum.
d. CT-Scan : dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga
dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila
terjadi
abses.
e. Laparoscopy : yaitu suatu tindakan dengan menggunakan
kamera
fiberoptik
yang di masukkan dalam abdomen, appendiks
dapat
di visualisasikan secara lagsung. Teknik ini di
lakukan
di bawah anestesi umum, bila saat di lakukan
tindakan
ini di dapatkan peradangan pada apppendiks
maka
pada saat itu juga dapat langsung di lakukan
pengangkatan
appendiks.
2.7.2 Penatalaksanaan
Pembedahan
diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.Antibiotik dan cairan
IV diberikan sampai pembedahan dilakukan.Analgesik dapat diberikan setelah
diagnosa ditegakkan.
Apendektomi
(pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan resiko perforasi.Apendiktomi dapat dilakukan di bawah anestesi umum
atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan
metode terbaru yang sangat efektif.
Penatalaksanaan apendiksitis menurut Mansjoer, 2000 :
a. Sebelum operasi
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
3. Rehidrasi
4. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan
secara intravena
5. Obat – obatan penurun panas,
phenergan sebagai anti mengigil, largaktil untuk
membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi
tercapai.
6.
Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
b. Operasi
1. Apendiktomi
2. Apendiks dibuang, jika apendiks
mengalami perforasi bebas, maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.
3. Abses apendiks diobati dengan
antibiotika IV, massa mungkin mengecil, atau
abses mungkin memerlukan drainase dalam
jangka waktu beberapa hari.
Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan
operasi elektif sesudah 6 minggu
sampai 3 bulan
c. Pasca Operasi 1. Observasi TTV
1. Angkat sonde lambung bila pasien
telah sadar sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah.
2. Baringkan
pasien dalam posisi semi fowler.
3. Pasien
dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam pasien
dipuasakan.
4. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai
fungsi usus kembali normal.
5. Berikan
minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan
harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
6. Satu
hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama
2x30 menit.
7. Pada
hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
8. Hari
ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang
Pada
keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif yang ditandai
dengan :
1. Keadaan umum klien masih
terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
2. Pemeriksaan lokal pada abdomen
kuadran kanan bawah masih jelas terdapat
tanda – tanda peritonitis
3.
Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat
pergeseran ke kiri.
Sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah klien dipersiapkan, karena
dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik – baiknya mengingat penyulit infeksi luka
lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.(
Arif Mansjoer dkk, 2000 )
Pada
keadaan massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda ditandai dengan :
1.
Umumnya klien berusia 5 tahun atau lebih
2. Keadaan umum telah membaik
dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak
tinggi lagi
3. Pemeriksaan lokal abdomen tidak
terdapat tanda – tanda peritonitis dan hanya
teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan
4.
Laboratorium hitung leukosit dan hitung jenis normal
Tindakan yang dilakukan sebaiknya
konservatif dengan pemberian antibiotik dan istirahat di tempat tidur.Tindakan
bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih – lebih
bila masa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit
perut.Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan
atau tanpa peritonitis umum.( Arif Mansjoer dkk, 2000 ).
2.7.3. Komplikasi Apendisitis
Komplikasi
utama apendisitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi
peritonitis atau abses.Insidens perforasi adalah 10%-30%.Insidens lebih tinggi
pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan
nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7ºC atau lebih tinggi, penampilan
toksik, dan nyeri atau nyeri tekan yang kontinyu.
Apabila
apendiktomi tidak mengalami komplikasi, pasien dapat dipulangkan pada hari itu
juga bila suhu dalam batas normal dan area operati terasa nyaman.Penyuluhan
saat pulang untuk pasien dan keluarga sangat penting. Pasien diinstruksikan
untuk membuat janji untuk menemui ahli bedah yang akan mengangkat jahitan antara
ahli kelima dan ketujuh. Perawatan insisi dan pedoman aktifitas
didiskusikan.Aktifitas normal biasanya dapat dilakukan dalam 2-4 minggu.
Apabila
terdapat peritonitis, drain dibiarkan di tempat insisi.Pasien yang berisiko
terhadap komplikasi dipertahankan di rumah sakit selama beberapa hari dan
dipantau dengan ketat terhadap adanya tanda-tanda obstruksi usus atau hemoragi
sekunder.Abses sekunder dapat terbentuk di pelvis, di bawah diafragma, atau di
hati yang menyebabkan peningkatan suhu dan frekuensi nadi, dan peningkatan pada
jumlah leukosit.
Apabila
pasien siap untuk pulang, pasien dan keluarga dapat diajarkan untuk merawat
luka dan melakukan pergantian balutan dan irigasi sesuai program. Perawat
kesehatan di rumah mungkin diperlukan
untuk membantu perawatan ini dan memantau pasien terhadap adanya komplikasi dan
penyembuhan luka.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
ANALISA DATA
NO
|
DATA PENUNJANG
|
MASALAH
|
ETIOLOGI
|
|
1
|
DS : pasien mengatakan nyeri pada abdomen kanan bawah tembus ke
punggung
DO :
Ø Wajah tampak menyeringai
Ø P : nyeri karena adanya perangsangan
Ø Q : nyeri seperti tertusuk-tusuk
Ø R : nyeri dibagian kanan bawah abdomen
Ø S : skala nyeri 8
Ø T : nyeri terjadi saat ditekan
|
Gangguan rasa nyaman
(nyeri)
|
Adanya perangsangan pada epigastrium
|
|
2
|
DS : -
DO :
Ø TTV : Suhu 380C; Nadi
>80x/menit; TD >110/70 mmHg; RR >20x/menit
Ø Terdapat luka insisi bedah
|
Resiko terjadi infeksi
|
Diskontinuitas jaringan sekunder terhadap luka insisi bedah
|
|
3
|
DS : Pasien mengatakan haus
DO :
Ø Ada tanda-tanda dehidreasi :
Membrane mukosa kering
Turgor kulit menurun >2detik
Ø Urin pekat (oliguri <500 cc/hari)
Ø TTV tidak stabil:
TD >120/80 mmHg
Nadi >80x/menit
RR : >20x/menit
Suhu : >37,50C
|
Kekurangan volume
cairan
|
Pembatasan cairan pascaoperasi sekunder terhadap proses penyembuhan
|
|
4
|
DS : Pasien dan keluarga mgatakan tidak mengetahui tentang
proses penyakit dan pengobatannya
DO :
Ø Bertanya mengenai informasi proses penyakit
Ø Bertanya tentang perawatan pascaoperasi
Ø Bertanya tentang pengobatan
|
Kurang pengetahuan
|
Tidak mengenal informasi tentang kebutuhan pengobatan/ perawatan
pasca pembedahan
|
|
Diagnosa keperawatan apendisitis :
Pre-op :
1.
Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan adanya
perangsangan pada epigastrium.
Post-op :
a.
Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan diskontinuitas jaringan
sekunder terhadap luka insisi bedah.
b.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan cairan
pascaoperasi sekunder terhadap proses penyembuhan.
c.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal informasi tentang
kebutuhan pengobatan/perawatan pasca pembedahan.
Intervensi
1.Dx kep. 1 : Ganggan rasa nyaman (nyeri) berhu adanya
perangsangan pada
Epigastrium.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan
nyeri pasien dapat berkurang
KH : Nyeri hilang, skala 0-3, pasien
tampak rileks, mampu
tidur/istirahat
selama 7-9 jam dalam sehari.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10)
|
Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan.
Perubahan pada karakteristik nyeri, menunjukkan terjadinya abses/peritonitis.
|
Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler
|
Menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi
terlentang
|
Dorong ambulasi dini
|
Merangsang peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan
ketidaknyamanan abdomen
|
Berikan aktifitas hiburan
|
Meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping
|
Kolaborasi pemberian analgetik
|
Menghilangkan dan mengurangi nyeri
|
2.Dx kep. 2 : Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan
diskontinuitas
jaringan
sekunder terhadap luka insisi bedah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam klien
tidak
menunjukkan tanda dan gejala infeksi
KH : Meningkatkan penyembuhan
luka dengan benar, drainase
purulen,
tidak ada eritema dan tidak ada demam. Tidak ada
tanda-tanda
infeksi (rubor, dolor ) luka bersih dan kering.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Awasi TTV. Perhatikan demam menggigil, berkeringat, perubahan
mental.
|
Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses
|
Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptic
|
Menurunkan risiko penyebaran bakteri
|
Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka
|
Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi
|
Berikan informasi yang tepat pada pasien/ keluarga pasien
|
Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan emosi,
membantu menurunkan ansietas
|
Berikan antibiotik sesuai indikasi
|
Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah
organisme (pada infeksi yang ada sebelumnya) untuk menurunkan penyebaran dan
pertumbuhannya
|
3.Dx kep 3 : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan
pembatasan
cairan
pascaoperasi sekunder terhadap proses penyembuhan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan
pasien dapat mempertahankan keseimbangan cairan
KH : Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi : membran mukosa lembab,
turgor
kulit baik (< 2 detik), TTV stabil (TD : 110/70-120/80
mmHg;
RR : 16-20x/menit; N : 60-100x/menit; S : 36,5- 37,50
C), haluaran urin adekuat.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Observasi TTV
|
Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume
intravaskuler
|
Observasi membran mukosa, kaji turgor kulit dan pengisian
kapiler
|
Indikator keadekuatan intake cairan dan elektrolit
|
Awasi intake dan output, catat warna urine/konsentrasi, berat
jenis
|
Penurunan pengeluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis
diduga dehidrasi/kebutuhan cairan meningkat
|
Auskultasi bising usus,
catat kelancaran flatus dan, gerakan usus
|
Indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukan per
oral
|
Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan peroral
dimulai, dan lanjutkan dengan diet sesuai toleransi
|
Menurunkan iritasi gaster/muntah untuk meminimalkan kehilangan
cairan
|
4.Dx kep. 4 : Kurang pengetahuan b/d tidak mengenal
informasi tentang
kebutuhan
pengobatan/ perawatan pasca pebedahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan
pasien dan keluarga mampu memahami dan mengerti
tentang
proses penyakit dan pengobatannya
KH : Berpartisipasi dalam program
pengobatan.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Kaji ulang pembatasan aktifitas pascaoperasi
|
Memberikan informasi pada pasien untuk merencanakan kembali
rutinitas biasa tanpa menimbulkan masalah
|
Anjurkan menggunakan laksatif/ pelembek feses ringan bila perlu
dan hindari enema
|
Membantu kembali ke fungsi usus, mencegah mengejan saat defekasi
|
Diskusikan perawatan insisi, termasuk mengganti balutan,
pembatasan mandi, dan kembali ke dokter untuk mengangkat jahitan/pengikat
|
Pemahaman peningkatan kerja sama dengan program terapi,
meningkatkan penyembuhan dan proses perbaikan
|
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebiasaan
mengkonsumsi makanan rendah serat dan konstipasi menjadi salah satu penyebab
penyakit apendisitis.Konstipasi menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal
yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya
apendisitis. Apabila apendisitis masuk ke dalam tahap kronis, harus segera
dilakukan tindakan operasi.Jika tindakan ini tidak dilakukan, maka akan
menyebabkan kematian.
B.
Saran
Saran yang
dapat kelompok kami berikan kepada para pembaca khusunya mahasiswa,sebaiknya
kita sering mengkonsumsi makanan yang berserat sebagai pencegahan awal dari
diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Engram,
Barbara. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah.Vol. 1.Jakarta
:
Penerbit Buku Kedokeran EGC.
Price,
Sylvia Anderson. Lorraine Mc Carty. (2012). Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, Ed. 6, vol.
1.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Black,
Joyce M. . Jane Hokanson Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah :
Manajemen Klinis untuk Hasil yang
Diharapkan, Ed. 8, buku 2.Indonesia : CV
Pentasada Media Edukasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar